Jumat, 25 Juli 2014

Cerpen: Minggu bersama Agustus #BGANia


PROLOG

SEMUA BERAWAL dari sebuah notifikasi email seorang teman, sahabat, sekaligus ‘dosen pembimbing’ semasa gue kuliah dulu yang selalu memberikan petuah-petuah ajaibnya. Agustus Haryadi.


To:  Me.

Hai brooo! Gimana kabar lo sekarang? Semoga kabar lo baik-baik saja ya.

Oh, iya, sudah lama juga kita nggak ngobrol-ngobrol bareng. Lama-lama kangen juga gue sama lo, bro. Terakhir—tujuh tahun yang lalu—dimana lo masih memulai usaha cafe lo dari nol—gue yang malah nggak sengaja ketemu sama lo pas jam makan siang.

Waktu itu lo masih terlalu berambisi mengejar ‘mimpi cafe’ lo itu. Lo mau buka cafe yang gede, tempatnya di lokasi yang keren, dan juga mewah. Tapi, gue juga pernah bilang ke lo; “Gak ada usaha yang langsung gede dan ‘wah’. Mulailah dari yang kecil. Kelak, semua yang kecil akan tumbuh menjadi gede”. Masih inget nggak lo?

Kalau lo masih inget, sepertinya omongan gue itu benar. Iya kan? Tapi, walaupun kenyataannya sekarang benar. Kalau boleh gue jujur, kemarin itu gue asal saja ngomong ke lo. He.. he.. he...  Gue nggak mau lo tenggelam dalam mimpi lo sendiri.

Brooo... usaha itu butuh proses, nggak ada yang instan kayak mie goreng. Bahkan, burung yang terlahir sudah mempunyai sayap, harus belajar dulu supaya bisa terbang. Iya kan?

Dan... Lho kok, gue malah beri lo kuliah singkat sih? Sorry-sorry, gue ngerti lo sekarang lebih paham dari gue soal dunia bisnis per-cafe-an. Dan gue nggak mau menggurui lo lagi soal itu. He.. he.. he...

Oh, iya... Gimana, mau nggak lo ketemuan sama gue?

Kalau lo sibuk sih gue bisa maklum, tapi gue mau tanya sama lo; Apa lo nggak kangen sama gue, hah?

Semasa kuliah dulu, lo selalu cari-cari gue. Alasannya lo sih bilang kangen sama gue. Baru deh kalimat selanjutnya lo bilang; “Eh, lo punya duit nggak? Minjem dong, gue mau bayar duit kos, ntar gue ganti deh!”. Inget nggak lo?

Makanya gue mau banget ketemu sama lo lagi. Ya, hitung-hitung ‘reuni’ setelah tujuh tahun yang lalu. Gimana, mau nggak lo?

Tapi sayangnya, gue nggak bisa nemuin lo di cafe (yang pasti sekarang cafe lo sudah gede). Gue mau, sekarang lo yang ke rumah gue. Gimana?

Lo masih ingetkan rumah gue?

Kalau lo lupa, wah kebangetan banget. He he he...

Sudah dulu ya email dari gue. Salam buat Kirana, istri lo. Dan Arya, ‘keponakan’ gue.

Salam,

Agustus Haryadi.

***

Minggu itu, Minggu terakhir di bulan April, tepat dua hari setelah gue menerima email dari temen gue, Agustus Haryadi.

Gue bercermin sekali lagi memastikan diri gue sudah rapi. Kemeja kotak-kotak ala Jokowi dan celana jeans berwarna biru gelap yang biasa gue pakai sehari-hari, menjadi kostum ‘spesial’ gue hari ini. Sayang, gue nggak bisa mengajak Kirana dan Arya, karena mereka berdua sudah punya rencana untuk pergi ke mall (biasa, akhir bulan!)

Gue melihat arloji di tangan sebelah kiri gue. Disana sudah menunjukan pukul sembilan pagi lebih lima belas menit. “Semoga saja si pemalas itu sudah bangun dari tidurnya!” kata gue dalam hati yang kali ini memanggil temen gue, Agustus, dengan sebutan si pemalas.

Gue tau kebiasaan si Agustus kalau hari libur. Pasti deh dia bangun siang, bahkan mandipun dia malas. Apakah ini alasannya supaya gue menemuinya di rumah? Entahlah. Gue juga nggak tau.

Setelah semua dirasa siap, gue segera turun ke lantai bawah—ke ruang keluarga—untuk mengambil kunci mobil gue. Nggak lupa juga untuk memberikan ciuman mesra ke Kirana yang sedang sibuk di dapur bersama Inem, pembantu rumah tangga gue.

“Ayah pergi dulu yah, Mah!” sahut gue sambil memeluk mesrah tubuh Kirana dari belakang.

“Iya, Pah... hati-hati di jalan. Salam buat si Agus ya, bilangin mamah nggak bisa ikut karena...” jawab Kirana sambil merapikan meja makan.

“Iya deh, Papah tau, kan Mamah mau ke mall kan nanti siang. Iya kan?”

Kali ini Kirana hanya membalas ucapan gue dengan senyum manisnya.

“Oh, iya... Arya mana, Mah?”

“Tuh, ada di luar sama Pak Pardi. Katanya sih mau main layangan tadi...”

“Oh...” jawab gue santai dan langsung meninggalkan Kirana.

Sampai diluar rumah, benar saja yang dibilang Kirana. Arya lagi sibuk bermain layangan bersama Pak Pardi, supir gue.

Melihat gue yang sudah rapih, Pak Pardi langsung menghampiri gue.

“Maaf, Pak! Bapak mau pergi?”

“Nggak, Pak...” kata gue setengah gondok. “Ya, iyalah, mau pergi. Memang mau ikutan main layangan juga?” lanjut gue yang kali ini dengan nada sedikit bercanda.

“.....”

“Mau saya antar, pak?”

“Nggak usah, mending kamu ajakin Arya main saja. Lagian, mungkin saya pulang sedikit malam. Daripada Ibu (sebutan untuk Kirana, istri gue) marah-marah karena kamu yang nyetirin saya, mending kamu deh yang diomelin sama Ibu. Tuh, si Ibu katanya mau pergi ke mall nanti siang!”

“Oh... Baik, Pak!” jawab Pak Pardi singkat.

Dan, urusan gue sama Pak Pardi selesai.

Sekarang giliran gue menemui Arya untuk berpamitan. Dasar Arya! Dia cuek-cuek saja nanggepin gue dan lebih fokus kepada layangannya.

Nggak lama kemudian, gue langsung masuk ke dalam mobil dan menuju ke rumah Agustus.

***

Yang gue inget tentang rumah temen gue, si Agustus itu, adalah rumahnya mempunyai pagar berwarna abu-abu. Sayangnya, gue juga nggak kalah bego. Di sekitar rumah Agustus, semua pagar rumahnya mempunyai warna yang sama. Abu-abu.

Hasilnya, gue mencoba tanya ke Pak Satpam komplek perumahan si Agustus.

“Pak! Rumah Pak Agustus dimana ya?” tanya gue dari balik setir mobil.

Sementara itu, sang Satpam melihat gue dengan ekspresi heran.

“Waduh, Pak! Untuk daftar perlombaan 17 Agustusan masih lama...”

“.....”

“Bukan, Pak. Maksud saya, rumah Pak Agustus, dimanaaaa?” nada gue sedikit tinggi.

“Oh....” Pak Satpam itu mulai bergumam. “Pak Agus yang beberapa bulan lalu kena strike itu?”

“Strike, Pak?”

“Iya, Pak! Eh, tapi tunggu dulu, itu strike apa stroke ya?”

“.....”

“Pak! Yang serius dong... itu teman saya, Pak...”

“Yee... jangan marah-marah gitu dong, pak! Saya juga lagi berusaha memberikan informasi yang benar kepada bapak. Tapi, saya bingung, itu strike apa stroke sih untuk sebutan penyakitnya? Soalnya, sejak kena penyakit itu, Pak Agus jadi nggak bisa ngapain-ngapain lagi. Ya, seperti lumpuh mendadak gitu, Pak....” jelas Pak Satpam panjang lebar.

“Itu namanya stroke, Pak! Bukan strike!” seru gue tambah kesal. Emang tuh penyakit seperti acara ‘Mancing Mania’? Strike!

“Sekarang, buruan kasih tau saya, dimana rumah Pak Agustus...”

Melihat gue yang semakin emosi. Akhirnya, tuh Satpam memberitahu alamat Pak Agustus ke gue. Dan, tanpa basa-basi lagi, gue langsung meninggalkan Pak Satpam tersebut yang masih bingung soal stroke apa strike!

***

Ting~tong~

Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya pintu rumah yang berwarna coklat muda itu terbuka lebar. Seorang anak kecil perempuan berumur lima tahun menyambut kedatangan gue. Wajahnya yang cantik dengan bentuk mata sedikit bulat (persis ayahnya) membuat gue langsung melihat sosok Agustus dalam wujud yang berbeda.

“Om mau ketemu siapa?” tanya anak perempuan itu dengan suaranya yang centil dan renyah, serenyah wafer.

“Pak Agus-nya ada? Om temennya Pak Agus...” jawab gue.

“Oh, ini temen ayah yang tadi dibicarain ayah? Masuk om, ayah lagi tiduran tuh di kamarnya. Ayah emang pemalas ya, om, kerjaannya tiduran mulu...” kata anak perempuan itu dengan polosnya sambil menunjukan arah kamar ayahnya.

“Ayah emang gitu sih!” seru gue dengan nada bercanda. “Oh, iya, kamu siapa namanya?”

“Aku Kirana, om!”

Mendengar nama Kirana yang keluar dari mulut centil itu, gue seakan terlempar kembali ke masa lalu. Saat itu, gue dan Agustus kebetulan jadi panitia Ospek di kampus. Sebagai kakak senior, kita berdua selalu bergaya sok galak. Tapi, kegalakan kita berdua malah jinak oleh seseorang mahasiswi—adik tingkat gue dan Agustus yang berparas cantik nan teduh itu.

Kirana. Itulah namanya. Karena kita berdua selalu ‘melindungi’ Kirana, hubungan kita bertiga semakin dekat. Nggak bisa dipungkiri lagi, gue pun mulai jatuh cinta sama Kirana. Begitu pula sama Agustus, dia cerita sama gue kalau dia diam-diam juga jatuh cinta sama Kirana. Sayangnya, Kirana lebih memilih gue. Ya, walaupun gue mempunyai badan yang sedikit ‘lebar’, tapi tampang gue cakep, bro... makanya Kirana lebih memilih gue daripada si Agustus. He.. he.. he...

Lalu, seketika lamunan gue di masa lalu itu buyar ketika mendapati Agustus yang terbaring lemas di atas tempat tidurnya.

“Gus!” sapa gue dengan ekspresi gembira. Walaupun, hati gue hancur melihat sahabat gue sekarang nggak bisa berbuat apapun selain tidur di atas kasur empuknya.

“Hei, mannnn!” jawab Agustus yang selalu sok gaul walaupun umurnya sekarang sudah tua. “Gue kira lo sudah lupa rumah gue....” lanjutnya dengan nada renta.

Gue tertawa kecil. “Lo nggak tau sih, gue tadi sempat nyasar juga buat cari rumah lo!”

“Ha.. ha.. ha... lo makin tua, bro! Tuh buktinya sudah mulai pikun...”

“Sialan lo...” jawab gue yang seakan kembali kemasa-masa kuliah dulu. “Oh, iya... tadi itu anak lo, Gus?”

“Kirana? Iya, itu anak gue. Kenapa?”

“Ah, lo... nama istri gue lo pakai juga. Masih naksir lo sama dia?” tanya gue bercanda.

“Dikit sih! Tapi gue sudah punya penggantinya, dan sebagai kenangan masa lalu kita, gue sengaja menamai anak gue dengan nama Kirana...”

“Agus... Agus... Agus...” decak gue dalam hati. Sosok yang selalu bersahaja, humoris dan sedikit nyebelin ini nggak pernah bisa gue lupain begitu saja.

Sementara itu, obrolan gue dengan Agustus terus berlanjut. Dia bercerita tentang dirinya sendiri, lalu dia bercerita tentang Raline—istrinya, lalu dia juga bercerita tentang Kirana— anaknya, dan terakhir dia bercerita penyakitnya sendiri, stroke.

“Tapi gue yakin lo bisa sembuh dari penyakit lo sekarang, Gus!” seru gue mencoba menyemangati temen gue.

Agustus mengangguk. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Semoga saja itu tanda bahwa dia tetap semangat dan tanpa menyerah. Lalu, Agustus berbicara lagi; “Sekarang ceritakan kehidupan lo, bro?”

EPILOG

Sejak Minggu itu, gue dan Agustus sering bertemu, bahkan hampir setiap hari Minggu kita bertemu. Mungkin karena itulah Agustus menamai pertemuan tersebut dengan nama “Minggu bersama Agustus”. Minggu demi Minggu yang kita lewati berdua dengan rasa dan tawa bahagia.

Lalu, dua bulan setelah “Minggu bersama Agustus” pertama itu. Akhirnya Agustus benar-benar pergi untuk selama-lamanya, tepatnya dua hari selepas lebaran tiba.

Agustus Haryadi. Yang tertinggal hanya petuah-petuah ajaibnya yang sekarang berbentuk sebuah cafe di daerah Kemang, Jakarta. Engkau sahabat, teman, dan ‘dosen pembimbing’ yang selalu hidup di dalam hati gue.

SELESAI



NOTE: Flash Fiction ini diikutsertakan dalam Give Awaynya Teh Nia #BGANia yang diadakan DI SINI yang mau ikutan silahkan waktunya masih lama loh :)

4 komentar:

  1. Haru, ini dari kisah nyata kah?

    BalasHapus
  2. Bukan mba, ini fiksi, baru pertama kalinya nih nulis cerpen yang niatnya mau bikin nangis anak orang. Kayaknya, hampir gagal deh. :)))

    BalasHapus
  3. Fiksi tapi seakan nyata, yah berharap gitu soalnya seakan bisa melihat sisi lain sosok dalam Mas Ryan Hasanin gimana. :)
    Ceritanya bagus dan ada konyolnya yang ujung-ujungnya malah bikin haru. Cuma, tolong dipoles bagian EYD-nya agar rapi dan sesuai kaidah. Kata depan dan imbuhan itu ada perbedaannya. Pun, partikel pun ada yang disatukan ada yang dipisah. Tetap semangat, Mas. Ini kunjungan perdanaku sebagai balas BW. :)
    Makasih, ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba :))) nggak usah sampai minta tolong gitu kok...
      hihi...
      iya nih masih suka bermasalah sama EYD. Mungkin EYD dendam sama gue, mba! hiks... :'(

      makasih ya, mba. Sudah berkunjung di blog yang makin campur aduk isinya kayak gado2.

      Hapus