Rabu, 10 Desember 2014

#SGANia Bulan November: Corat-coret Memoar Tentang Eyang



UNTUK EYANG: PAHLAWANKU

Coretan by: Ryanhasanin


Aku masih ingat!

Malam itu, aku duduk di samping Eyang untuk terakhir kalinya. Kulihat raut wajahnya pucat, senyumnya dingin, dan tubuhnya yang semakin kurus. Sementara itu, Mamah—yang saat itu juga duduk di sampingku—mulutnya terus melafazkan ayat-ayat suci Al Quran sefasih yang ia mampu sambil air matanya terus turun membasahi pipinya.

Dan tak lama kemudian, aku bangkit dari tempat dudukku, tenggelam dalam kesendirian dan memori indah semasa Eyangku hidup di dalam kamar seorang diri.

“Ryan...” panggil eyang.
  
“Sebentar, Yang...” bantahku bandel. “Lagi seru nih maen PS-nya!” lanjutku memberitahunya kalau aku lagi “sibuk sama urusanku” dan tak mau diganggu.
  
Namun, sayangnya, Eyangku sama kerasnya denganku. Ia memanggilku sekali lagi.

“Ryan... Sini sebentar!”
             
Lalu, dengan perasaan kesal aku meletakan stick PS-ku di lantai.
            
 “Ada apa sih, Yang?” tanyaku.
             
Eyang cuman tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Eyang cuman mau cerita sama Ryan...”
             
“Cerita? Lagi?” tanyaku kaget. “Yang, Ryan kan sudah kelas 3 SD! Masa’ harus didongengin terus sih?”
             
Lagi-lagi Eyang tersenyum. “Ini bukan dongeng...” jawab Eyang. “Oh, iya, ini ada chiki kesukaanmu...” lanjutnya.
             
Kulihat chiki itu keluar dari persembunyiannya—dari balik badan Eyang. “Ah, Eyang paling tahu menjinakan sifat nakalku!”
            
Lalu, sambil menikmati chiki, aku duduk disamping Eyang, dan siap mendengarkan ceritanya;
             
Ternyata, Eyang cerita tentang dirinya sendiri. Ia menceritakan masa kecilnya yang tak semudah jamanku—untuk sekolah saja, hanya kalangan tertentu yang bisa dan mampu. Lalu, singkat cerita, dengan kerja kerasnya, Eyang akhirnya bekerja sebagai Jaksa di Kejaksaan Tinggi Republik Indonesia. Eyang cerita kalau dirinya adalah perantau. Ia lahir di Semarang. Lalu, hijrah ke Kotabumi—Lampung (kalau aku nggak salah ya), dan akhirnya menemukan jodohnya di tanah Sriwijaya. Itulah Eyang Putriku.
             
Selama Eyang bercerita, aku melihat raut wajahnya bahagia ketika Eyang bercerita waktu ia bertemu dengan Eyang putriku. Eyang bilang; kalau masa pacaran dulu nggak semudah jaman sekarang. Eyang harus bersepeda dari rumah dinasnya ke rumah eyang putriku, itupun nggak bisa lama-lama karena buyutku pasti sudah menunggu disana sambil mengawasi dan berpura-pura sedang menyiram tanaman di depan rumah. Kata Eyang putriku: dulu, banyak cowok yang naksir sama Eyang. Tapi, Eyang lebih memilih Eyang kakungmu karena ia tampan dan putih!
            
 Namun, ditengah-tengah cerita bahagia itu, Eyang raut wajahnya tiba-tiba saja sedih. Tidak ini bukan sedih secara emosi, tapi ini bersifat sebagai keprihatinannya. Eyang cerita semasa ia bekerja sebagai Jaksa, banyak sekali kerabat dan sahabatnya yang salah menggunakan wewenangnya. Mereka lupa sama sumpah jabatannya, dan lebih memilih untuk menerima suap dari klien-kliennya. Eyangku yang selama hidupnya selalu punya prinsip kejujuran, lama-lama punya musuh juga. Suatu hari, akibat dari kejujuran itu, Eyang kecelakaan, dan kakinya patah lalu jadi pincang. Tapi, Eyang selalu berkata kepadaku; Jadilah orang jujur apapun resikonya! Dan aku janji kepadanya saat itu juga kalau kejujuran adalah nomor satu dalam kehidupanku.
            
Sampai, lamunan tentang masa-masa indahku bersama Eyang buyar ketika Papa membangunkanku dan mengajak untuk sholat subuh.
             
Dan siang harinya, Dzuhur, Eyang disolatkan. Sorenya, Eyang dikuburkan di sebalah makam buyutku.


Selamat jalan eyang, semoga amalmu dan kejujuranmu akan membawamu ke dalam Surga-NYA yang abadi nan indah. Amin.


Note:
Cerita ini hanya fiksi. Namun, dibumbui sama pengalaman diri sendiri. Atas ketidak akuratan alur cerita, Ryan minta maaf. (Kali aja ada keluarga yang baca. Haha... walaupun 2% kemungkinannya).