UNTUK
EYANG: PAHLAWANKU
Coretan by:
Ryanhasanin
Aku masih ingat!
Malam itu, aku duduk di samping Eyang untuk terakhir
kalinya. Kulihat raut wajahnya pucat, senyumnya dingin, dan tubuhnya yang semakin
kurus. Sementara itu, Mamah—yang saat itu juga duduk di sampingku—mulutnya terus
melafazkan ayat-ayat suci Al Quran sefasih yang ia mampu sambil air matanya
terus turun membasahi pipinya.
Dan tak lama kemudian, aku bangkit dari tempat dudukku, tenggelam
dalam kesendirian dan memori indah semasa Eyangku hidup di dalam kamar seorang
diri.
“Ryan...” panggil eyang.
“Sebentar, Yang...” bantahku bandel. “Lagi seru nih maen
PS-nya!” lanjutku memberitahunya kalau aku lagi “sibuk sama urusanku” dan tak mau
diganggu.
Namun, sayangnya, Eyangku sama kerasnya denganku. Ia memanggilku
sekali lagi.
“Ryan... Sini sebentar!”
Lalu, dengan perasaan kesal aku meletakan stick PS-ku di
lantai.
“Ada apa sih, Yang?” tanyaku.
Eyang cuman tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Eyang cuman
mau cerita sama Ryan...”
“Cerita? Lagi?” tanyaku kaget. “Yang, Ryan kan sudah
kelas 3 SD! Masa’ harus didongengin terus sih?”
Lagi-lagi Eyang tersenyum. “Ini bukan dongeng...” jawab
Eyang. “Oh, iya, ini ada chiki
kesukaanmu...” lanjutnya.
Kulihat chiki
itu keluar dari persembunyiannya—dari balik badan Eyang. “Ah, Eyang paling tahu menjinakan sifat nakalku!”
Lalu, sambil menikmati chiki, aku duduk disamping Eyang, dan siap mendengarkan ceritanya;
Ternyata, Eyang cerita tentang dirinya sendiri. Ia
menceritakan masa kecilnya yang tak semudah jamanku—untuk sekolah saja, hanya
kalangan tertentu yang bisa dan mampu. Lalu, singkat cerita, dengan kerja
kerasnya, Eyang akhirnya bekerja sebagai Jaksa di Kejaksaan Tinggi Republik
Indonesia. Eyang cerita kalau dirinya adalah perantau. Ia lahir di Semarang. Lalu,
hijrah ke Kotabumi—Lampung (kalau aku nggak salah ya), dan akhirnya menemukan
jodohnya di tanah Sriwijaya. Itulah Eyang Putriku.
Selama Eyang bercerita, aku melihat raut wajahnya bahagia
ketika Eyang bercerita waktu ia bertemu dengan Eyang putriku. Eyang bilang; kalau masa pacaran dulu nggak semudah jaman
sekarang. Eyang harus bersepeda dari rumah dinasnya ke rumah eyang putriku,
itupun nggak bisa lama-lama karena buyutku pasti sudah menunggu disana sambil
mengawasi dan berpura-pura sedang menyiram tanaman di depan rumah. Kata Eyang
putriku: dulu, banyak cowok yang naksir
sama Eyang. Tapi, Eyang lebih memilih Eyang kakungmu karena ia tampan dan
putih!
Namun,
ditengah-tengah cerita bahagia itu, Eyang raut wajahnya tiba-tiba saja sedih. Tidak
ini bukan sedih secara emosi, tapi ini bersifat sebagai keprihatinannya. Eyang
cerita semasa ia bekerja sebagai Jaksa, banyak sekali kerabat dan sahabatnya
yang salah menggunakan wewenangnya. Mereka lupa sama sumpah jabatannya, dan
lebih memilih untuk menerima suap dari klien-kliennya. Eyangku yang selama
hidupnya selalu punya prinsip kejujuran, lama-lama punya musuh juga. Suatu hari,
akibat dari kejujuran itu, Eyang kecelakaan, dan kakinya patah lalu jadi
pincang. Tapi, Eyang selalu berkata kepadaku; Jadilah orang jujur apapun resikonya! Dan aku janji kepadanya saat
itu juga kalau kejujuran adalah nomor satu dalam kehidupanku.
Sampai, lamunan tentang masa-masa indahku bersama Eyang
buyar ketika Papa membangunkanku dan mengajak untuk sholat subuh.
Dan siang harinya, Dzuhur, Eyang disolatkan. Sorenya,
Eyang dikuburkan di sebalah makam buyutku.
Selamat jalan
eyang, semoga amalmu dan kejujuranmu akan membawamu ke dalam Surga-NYA yang
abadi nan indah. Amin.
Note:
Cerita ini hanya fiksi.
Namun, dibumbui sama pengalaman diri sendiri. Atas ketidak akuratan alur
cerita, Ryan minta maaf. (Kali aja ada keluarga yang baca. Haha... walaupun 2%
kemungkinannya).
Inspiring amat eyang nya mas :')
BalasHapusGood luck GA nya yaa
yup, minta doanya juga kakak Aul Howler!
Hapus